Rabu, 09 September 2015

Kenangan TITIK


 Kenangan akan menjadi abadi, dia perjalanan jiwa. Kita hanya bisa memilih untuk berdamai dengan kenangan atau berpura-pura melupakannya.

Aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak meuliskan surat lagi untukmu “kenangan”, aku benci dengan dirimu. Kau tahu aku lebih banyak membaca akhri-akhir ini, aku merasa membaca bisa membuatku lari dari keinginanku untuk menulis surat kepadamu, aku merasa buku-buku adalah tempat yang paling aman untuk bersembunyi. Tapi membaca adalah sebuah pekerjaan bersuhu tinggi. Semakin aku membaca dan bersembunyi maka kepalaku pun semakin panas untuk menuliskan banyak surat untukmu, entah dari mana hubungan ini bisa terjadi tapi kata-kataku begitu banyak untuk segera dialirkan dan ditumpkahkan pada secarik kertas kosong.

Mirip seperti bendungan penampungan air. Semakin aku membaca maka semakin banyak air yang ditampung, masalahnya adalah kapasitas bendungan fikiranku terbatas, jika tetap kutampung tanpa ampun, maka air ini bisa saja menjadi air bah yang akan merusak segala hal disekitarnya, memang pengrusakan selalu saja mengajari hati manusia untuk memberikan pegampunan tapi tetap saja manusia bertugas untuk menjaga kedamaian sekitarnya. Dengan alasan itu aku tahu aku sedang butuh menulis. Bagiku menulis adalah pekerjaan yang bersuhu rendah, menulis seperti air mengalir dan begitu dingin. Aku butuh keseimbangan dalam pikiranku, agar kau tetap ada disana dan tetap seperti itu.

Pagi ini aku menatap pohon kecil di dekat jendela kamarku dan mendengarkan kicau burung pipit yang sedang berkasih sayang dengan pasangannya. Seketika itu aku tahu bahwa aku juga membutuhkan waktu berkasih sayang denganmu, mungkin tidak seperti burung pipit yang kulihat pagi ini, cukup dengan menulis surat untukmu menumpahkan semua kata yang telah tertampung cukup lama di bendungan fikiranku.  Aku butuh menulis.

Ada banyak kata yang tak sempat aku ucapkan kepadamu di akhir pertemuan kita. Aku tahu kau telah memutuskan untuk berhenti menulis surat-surat untukku. Mungkin kau marah denganku karena aku tak pernah lagi membalas suratmu beberapa bulan ini. Tapi kau harus tahu, aku memilih diam bukan karena tak merindukanmu atau tak peduli denganmu. Aku memilih diam karena aku merasa diam adalah tempat yang paling aman untukku, setidaknya dalam diam aku bertemu dengan sepi dan keheningan. Sepi bagiku adalah obat mujarab bagi segala kesakitan, berteman dengan diri sendiri dan berdialog dengan hati yang sedang rapuh. Lalu mengalirkannya dalam rinai air mata yang tak perlu kau liat dan tak berharap engkau hapus dari pipiku.

Aku telah berusaha mencarimu, disetiap orang yang melewati tempat pertemuan kita, disetiap taman, disetiap bunga dan rerumputan, disetiap kumbang yang kau kenalkan padaku dan disetiap langit yang kulalui. Tetapi tak ada jawaban dari mereka, mereka hanya berkata tak tahu tentangmu. Aku tahu mereka mengetahuinya, aku curiga kau memang senganja bersembunyi dan meminta mereka untuk menyembunyikanmu dari ku dan dari pencarianku.

Seketika aku marah, aku marah karena aku selalu berfikir bahwa kau mencintaiku, merindukanku dan selalu ingin mendekapku. Tapi tidak, kau tak datang walaupun telah kugedor dinding-dinding keangkuhanmu begitu keras. Hasilnya tetap saja sama, kamu betah di ruang persembunyianmu yang mungkin sudah kau temukan kebahagiaan disana. Aku lelah, aku memang lelah dan kuputuskan untuk pulang. Kepulanganku begitu menyedihkan, aku yang berjalan di jalan kecil kesedihanku tanpa kamu. Di jalan itu aku hanya mendengar suaramu yang selalu marah kepadaku ketika aku menggenggam bola panas sendiri dan tak membaginya padamu. Tapi di jalan kecil ini kudapati diriku menggenggam bola panas ini sendiri tanpa kamu, sedang aku membutuhkanmu untuk menggenggam bola panasku yang lain. Dan kau tak ada.

Aku menjelma menjadi cinta yang marah, namun kau tahu???? Hatiku tak begitu kuat untuk menggenggam kemarahan tentangmu begitu lama. Aku mengerti perpisahan begitu menyakitkan dan selalu menjelma menjadi sepi yang mencekam dan manusia selalu benci dengan cekaman sang sepi. Mungkin kau juga sedang merasakan kebencian itu juga. Sedang aku mencoba untuk melawan sepi dengan bersembunyi di balik buku-buku itu. Tapi semakin aku melawan sepi maka semakin kuat pula sepi itu mencekamku. Yang kutemukan hanyalah ketakutan, perlawanan yang tak mampu membunuh musuh namun semakin membunuh tuanya sendiri.

Sesaat aku menatap langit biru, warna biru yang selalu kau simbolkan dengan kedalaman perasaan. Jauh dan berjarak namun tetap jelas warna yang dia miliki. Mungkin itu simbol dari rasa yang belum kita temukan jawabannya sampai hari ini sebelum engkau memutuskan untuk bersembunyi dan terus bersembunyi sedang kau tahu aku sedang mencarimu disetiap sisi perjalananku. Mungkin hanya diriku, aku merasa biru adalah kedalaman itu, mungkin itu juga yang sedang kau maksudkan kepadaku dengan bersembunyi. Jauh dan berjarak dengan warna yang nampak jelas. Kau dan aku yang berjarak namun jelas ada pada rasa yang sama.

Aku tahu bahkan ketika aku sedang belajr untuk mengerti warna biru itu, walaupun aku sedang menatap langit di jalan kecil ini, kenangan selalu lihai menari-nari di dalam pikiranku, lalu secepat kilat mengoyak-oyak perasaan ku. Ternyata mengerti tentang rasa tidak berarti kita mampu berdamai dengan kenangan. Kenangan adalah sisa perjalanan jiwa yang akan abadi. Jika kau berfikir bahwa kau mampu menguburnya bahkan melupakannya maka sama saja kau sedang menulis di dalam air. Semakin kau menulis semakin tak tampak hasil tulisanmu. Semakin kau melawan kenangan maka semakin ia ada dalam pikiranmu dan semakin sakit pula kau dibuatnya.

Aku mengutip kata Aan Mansyur- Lelaki Terakhir Yang mengis Di Bumi, “kenganan punya banyak cara untuk menjerat dan membunuh pemiliknya. Manusia tidak lebih dari seekor binatang bodoh dan lemah dihadapan kenangan. Hanya ada dua pilihan. Menjadi jinak atau mati terjerat dalam sejenak”. Jika kau memilih melawan kenangan aku menghormati segala keputusanmu dan mungkin kau sedang menunggu untuk mati dalam jeratan kenangan. Namun aku memiliki keputusan yang berbeda, aku memilih menjadi jinak, bersahabat dengan kenangan dan menjadikannya bagian dari diriku. Karena bagiku tidak ada kata lupa bagi kenangan dikarenakan waktu, yang ada hanyalah berdamai dengan kenangan seiring dengan berlalunya waktu atau kita berpura-pura lupa dengan kenangan. Dan aku berharap kau mengerti maksudku.

Aku tahu kau tak menerima akhir dari kisah ini, kau terjerat dalam harapanmu yang jelas-jelas kosong. Kau selalu berkata kepadaku bahwa kata kita adalah kata yang tak mungkin dengan lima benteng yang sering kau keluhan padaku, namun kau harus tau bahwa segala kehidupan di Bumi ini selalu punya kata kecuali dan kata tetapi kata kak Aan. Mungkin kita kita tidak akan ada pada dunia yang nyata, tapi kata kita bisa hadir di lembaran tulisan-tulisanmu hanya untuk mengantarkan rindu yang berdera dan berderu dalam bingkai kenangan dan abadi dalam tulisan. Ya mengabadikanmu dalam tulisan dan akan kau baca nantinya sambil tersenyum di kursi goyangmu bersama secangkir kopi dan kaca mata tuamu. Hanya itu, cukup itu dan akan sampai disitu.

Lalu karena semua alasan ini aku mencarimu sesungguhnya. Tapi kau selalu senang dalam persembunyianmu mempermainkanku diluar sana yang sedang menggedor-gedor pintu-pintu persembunyianmu. Dan aku tahu kau juga sedang sekarat disana. Ingin aku menolongmu segera namun mungkin kau punya cara lain untuk menolong dirimu sendiri. Semoga kau tak pernah menyesal dengan keputusanmu, karena aku selalu berharap untuk itu. Walaupun mungkin melihat orang lain menyesal karena perbuatannya yang menyakiti adalah kabahagiaan yang sangat jarang ditemui, namun aku tak pernah mengharapkan itu terjadi padamu.
Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti menggedor-gedor pintu persembunyianmu bukan karena aku lelah, tapi aku menghargai segala yang kau putuskan, walau kadang aku berfikir bahwa kau sendiri tak menghargai segala keputusanku. Bahkan sekedar untuk mendengarkan alasan-alasanku. Semuanya kau ganti dengan kata salah termasuk awal kebagiaan yang pernah kau rajut bersamaku kau ganti dengan kata salah dan tidak baik. Aku hanya ingin mengenang katamu yang selalu memarahiku ketika aku mengucapkan kata yang sama dan memutuskan untuk menjauh lebih awal, hanya untuk mengenang. Lalu kupersilahkan kau hukum aku sebagai pelaku kejahatan. Mungkin itu keputusanmu yang harus kuhormati.

Namun kau harus tau, bahwa tidak ada cinta yang tidak adil. Banyak konsep yang telah kita pelajari tentang adil, seperti tidak berat sebelah. Namun jika itu keadilan maka akan ada tambahan kata “ke” yang berarti kata kerja atau upaya/berusaha untuk adil. Tapi adil yang seperti apa?, dan defenisi yang seperti apa yang paling cocok untuk itu?. Namun bagiku konsep itu diterapkan dalam cinta, tetap saja cinta punya perhitugannya sendiri. Cinta memiliki angka-angka sendiri, penilaian sendiri dan penjumlahanya tersendiri. Dan bagiku apa yang aku lakukan hari ini adalah cinta yang adil dengan perhitungannya tersendiri. Namun mungkin kau punya konsep lain yang akupun harus menghormatinya.

Aku seperti anak kecil memang terutama dalam menyikapi kenangan, seperti katamu bahwa “bukankah dewasa berarti siap melaskan dan merelakan” (dwitasari). Tetapi jika aku ingin berterus terang pada diriku sendiri tidak ada manusia dewasa sekalipun yang siap melepaskan. Mungkin dimulut mereka mengatakan siap tapi siapa yang tau tentang kedalam rasa mereka tetang kesiapan itu. Kita semua tidak pernah benar-benar dewasa, kita terus belajar menjadi dewasa sampai kata mati yang universal itu menjadi kenyataan. Kita hanya anak kecil yang memegang boneka kesayangan kita walaupun ketika Tuhan ingin mengambil boneka kecil itu dan menggantinya dengan boneka besar kita tetap tak percaya dan terus ingin menggenggam apa yang kita lihat dan miliki sekarang. Dan aku mengakui aku memang anak kecil.

Mungkin karena aku anak kecil maka aku selalu berharap kau selalu jujur dengan dirimu sendiri. Katakanlah apa yang mampu kau katakan pada kenangan. Jika kau masih bisa mengatakan kau mencintai kenangan maka katakanlah selagi kau bisa. Bahkan ketika waktu begitu sempitnya memberimu ruang. Aku tahu bahwa waktu yang begitu sempit akan menyakitimu, tetapi inilah kenyataan yang harus kau terima. Pilihanmu cuma dua menjadi jinak atau memilih untuk melawan sambil menunggu kematian akan jeratan kenangan. Akan ada masa ketika kau ingin mengatakan kedalaman rasamu, waktu tak mengijinkan dan ruang telah berbalik arah dihadapan yang lain. Kau harus tau bahwa waktu tetaplah pelari yang paling handal bagi kenangan. Ia tak akan terulang meski kau meronta-ronta untuk mengejarnya. Namun semuanya telah berlalu, lepas. Waktu telah melewati garis finish dan menuju garis finish lainnya dan ruang telah berbalik arah di tempat yang lain.

Kenangan dan akan menjadi Kenangan TITIK











1 komentar:

  1. bagus tulisannya, aku suka...terus menulis ya Siti...sapa tau bisa jd sebuah novel. kenangannya jgn langsung titik, masih ada koma, dan lainnya heee

    BalasHapus