Kenangan akan menjadi abadi, dia perjalanan jiwa. Kita hanya bisa memilih untuk berdamai dengan kenangan atau berpura-pura melupakannya.
Aku
pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak meuliskan surat lagi untukmu “kenangan”,
aku benci dengan dirimu. Kau tahu aku lebih banyak membaca akhri-akhir ini, aku
merasa membaca bisa membuatku lari dari keinginanku untuk menulis surat
kepadamu, aku merasa buku-buku adalah tempat yang paling aman untuk bersembunyi.
Tapi membaca adalah sebuah pekerjaan bersuhu tinggi. Semakin aku membaca dan
bersembunyi maka kepalaku pun semakin panas untuk menuliskan banyak surat
untukmu, entah dari mana hubungan ini bisa terjadi tapi kata-kataku begitu
banyak untuk segera dialirkan dan ditumpkahkan pada secarik kertas kosong.
Mirip
seperti bendungan penampungan air. Semakin aku membaca maka semakin banyak air
yang ditampung, masalahnya adalah kapasitas bendungan fikiranku terbatas, jika
tetap kutampung tanpa ampun, maka air ini bisa saja menjadi air bah yang akan
merusak segala hal disekitarnya, memang pengrusakan selalu saja mengajari hati
manusia untuk memberikan pegampunan tapi tetap saja manusia bertugas untuk
menjaga kedamaian sekitarnya. Dengan alasan itu aku tahu aku sedang butuh
menulis. Bagiku menulis adalah pekerjaan yang bersuhu rendah, menulis seperti
air mengalir dan begitu dingin. Aku butuh keseimbangan dalam pikiranku, agar
kau tetap ada disana dan tetap seperti itu.
Pagi
ini aku menatap pohon kecil di dekat jendela kamarku dan mendengarkan kicau
burung pipit yang sedang berkasih sayang dengan pasangannya. Seketika itu aku
tahu bahwa aku juga membutuhkan waktu berkasih sayang denganmu,
mungkin tidak seperti burung pipit yang kulihat pagi ini, cukup dengan menulis
surat untukmu menumpahkan semua kata yang telah tertampung cukup lama di
bendungan fikiranku. Aku butuh menulis.
Ada
banyak kata yang tak sempat aku ucapkan kepadamu di akhir pertemuan kita. Aku
tahu kau telah memutuskan untuk berhenti menulis surat-surat untukku. Mungkin
kau marah denganku karena aku tak pernah lagi membalas suratmu beberapa bulan
ini. Tapi kau harus tahu, aku memilih diam bukan karena tak merindukanmu atau
tak peduli denganmu. Aku memilih diam karena aku merasa diam adalah tempat yang
paling aman untukku, setidaknya dalam diam aku bertemu dengan sepi dan
keheningan. Sepi bagiku adalah obat mujarab bagi segala kesakitan, berteman
dengan diri sendiri dan berdialog dengan hati yang sedang rapuh. Lalu
mengalirkannya dalam rinai air mata yang tak perlu kau liat dan tak berharap
engkau hapus dari pipiku.
Aku
telah berusaha mencarimu, disetiap orang yang melewati tempat pertemuan kita,
disetiap taman, disetiap bunga dan rerumputan, disetiap kumbang yang kau
kenalkan padaku dan disetiap langit yang kulalui. Tetapi tak ada jawaban dari mereka,
mereka hanya berkata tak tahu tentangmu. Aku tahu mereka mengetahuinya, aku
curiga kau memang senganja bersembunyi dan meminta mereka untuk
menyembunyikanmu dari ku dan dari pencarianku.
Seketika
aku marah, aku marah karena aku selalu berfikir bahwa kau mencintaiku,
merindukanku dan selalu ingin mendekapku. Tapi tidak, kau tak datang walaupun
telah kugedor dinding-dinding keangkuhanmu begitu keras. Hasilnya tetap saja
sama, kamu betah di ruang persembunyianmu yang mungkin sudah kau temukan
kebahagiaan disana. Aku lelah, aku memang lelah dan kuputuskan untuk pulang. Kepulanganku
begitu menyedihkan, aku yang berjalan di jalan kecil kesedihanku tanpa kamu. Di
jalan itu aku hanya mendengar suaramu yang selalu marah kepadaku ketika aku
menggenggam bola panas sendiri dan tak membaginya padamu. Tapi di jalan kecil
ini kudapati diriku menggenggam bola panas ini sendiri tanpa kamu, sedang aku
membutuhkanmu untuk menggenggam bola panasku yang lain. Dan kau tak ada.
Aku
menjelma menjadi cinta yang marah, namun kau tahu???? Hatiku tak begitu kuat
untuk menggenggam kemarahan tentangmu begitu lama. Aku mengerti perpisahan
begitu menyakitkan dan selalu menjelma menjadi sepi yang mencekam dan manusia
selalu benci dengan cekaman sang sepi. Mungkin kau juga sedang merasakan
kebencian itu juga. Sedang aku mencoba untuk melawan sepi dengan bersembunyi di
balik buku-buku itu. Tapi semakin aku melawan sepi maka semakin kuat pula sepi
itu mencekamku. Yang kutemukan hanyalah ketakutan, perlawanan yang tak mampu
membunuh musuh namun semakin membunuh tuanya sendiri.
Sesaat
aku menatap langit biru, warna biru yang selalu kau simbolkan dengan kedalaman
perasaan. Jauh dan berjarak namun tetap jelas warna yang dia miliki. Mungkin
itu simbol dari rasa yang belum kita temukan jawabannya sampai hari ini sebelum
engkau memutuskan untuk bersembunyi dan terus bersembunyi sedang kau tahu aku
sedang mencarimu disetiap sisi perjalananku. Mungkin hanya diriku, aku merasa
biru adalah kedalaman itu, mungkin itu juga yang sedang kau maksudkan kepadaku
dengan bersembunyi. Jauh dan berjarak dengan warna yang nampak jelas. Kau dan
aku yang berjarak namun jelas ada pada rasa yang sama.
Aku
tahu bahkan ketika aku sedang belajr untuk mengerti warna biru itu, walaupun
aku sedang menatap langit di jalan kecil ini, kenangan selalu lihai menari-nari
di dalam pikiranku, lalu secepat kilat mengoyak-oyak perasaan ku. Ternyata
mengerti tentang rasa tidak berarti kita mampu berdamai dengan kenangan. Kenangan
adalah sisa perjalanan jiwa yang akan abadi. Jika kau berfikir bahwa kau mampu
menguburnya bahkan melupakannya maka sama saja kau sedang menulis di dalam air.
Semakin kau menulis semakin tak tampak hasil tulisanmu. Semakin kau melawan
kenangan maka semakin ia ada dalam pikiranmu dan semakin sakit pula kau
dibuatnya.
Aku
mengutip kata Aan Mansyur- Lelaki Terakhir Yang mengis Di Bumi, “kenganan punya
banyak cara untuk menjerat dan membunuh pemiliknya. Manusia tidak lebih dari
seekor binatang bodoh dan lemah dihadapan kenangan. Hanya ada dua pilihan.
Menjadi jinak atau mati terjerat dalam sejenak”. Jika kau memilih melawan
kenangan aku menghormati segala keputusanmu dan mungkin kau sedang menunggu
untuk mati dalam jeratan kenangan. Namun aku memiliki keputusan yang berbeda,
aku memilih menjadi jinak, bersahabat dengan kenangan dan menjadikannya bagian
dari diriku. Karena bagiku tidak ada kata lupa bagi kenangan dikarenakan waktu,
yang ada hanyalah berdamai dengan kenangan seiring dengan berlalunya waktu atau
kita berpura-pura lupa dengan kenangan. Dan aku berharap kau mengerti maksudku.
Aku
tahu kau tak menerima akhir dari kisah ini, kau terjerat dalam harapanmu yang
jelas-jelas kosong. Kau selalu berkata kepadaku bahwa kata kita adalah kata
yang tak mungkin dengan lima benteng yang sering kau keluhan padaku, namun kau
harus tau bahwa segala kehidupan di Bumi ini selalu punya kata kecuali dan kata
tetapi kata kak Aan. Mungkin kita kita tidak akan ada pada dunia yang nyata,
tapi kata kita bisa hadir di lembaran tulisan-tulisanmu hanya untuk
mengantarkan rindu yang berdera dan berderu dalam bingkai kenangan dan abadi
dalam tulisan. Ya mengabadikanmu dalam tulisan dan akan kau baca nantinya
sambil tersenyum di kursi goyangmu bersama secangkir kopi dan kaca mata tuamu.
Hanya itu, cukup itu dan akan sampai disitu.
Lalu
karena semua alasan ini aku mencarimu sesungguhnya. Tapi kau selalu senang
dalam persembunyianmu mempermainkanku diluar sana yang sedang menggedor-gedor
pintu-pintu persembunyianmu. Dan aku tahu kau juga sedang sekarat disana. Ingin
aku menolongmu segera namun mungkin kau punya cara lain untuk menolong dirimu
sendiri. Semoga kau tak pernah menyesal dengan keputusanmu, karena aku selalu
berharap untuk itu. Walaupun mungkin melihat orang lain menyesal karena
perbuatannya yang menyakiti adalah kabahagiaan yang sangat jarang ditemui,
namun aku tak pernah mengharapkan itu terjadi padamu.
Sampai
akhirnya aku memutuskan berhenti menggedor-gedor pintu persembunyianmu bukan
karena aku lelah, tapi aku menghargai segala yang kau putuskan, walau kadang
aku berfikir bahwa kau sendiri tak menghargai segala keputusanku. Bahkan
sekedar untuk mendengarkan alasan-alasanku. Semuanya kau ganti dengan kata
salah termasuk awal kebagiaan yang pernah kau rajut bersamaku kau ganti dengan
kata salah dan tidak baik. Aku hanya ingin mengenang katamu yang selalu
memarahiku ketika aku mengucapkan kata yang sama dan memutuskan untuk menjauh
lebih awal, hanya untuk mengenang. Lalu kupersilahkan kau hukum aku sebagai pelaku
kejahatan. Mungkin itu keputusanmu yang harus kuhormati.
Namun
kau harus tau, bahwa tidak ada cinta yang tidak adil. Banyak konsep yang telah
kita pelajari tentang adil, seperti tidak berat sebelah. Namun jika itu
keadilan maka akan ada tambahan kata “ke” yang berarti kata kerja atau upaya/berusaha
untuk adil. Tapi adil yang seperti apa?, dan defenisi yang seperti apa yang
paling cocok untuk itu?. Namun bagiku konsep itu diterapkan dalam cinta, tetap
saja cinta punya perhitugannya sendiri. Cinta memiliki angka-angka sendiri,
penilaian sendiri dan penjumlahanya tersendiri. Dan bagiku apa yang aku lakukan
hari ini adalah cinta yang adil dengan perhitungannya tersendiri. Namun mungkin
kau punya konsep lain yang akupun harus menghormatinya.
Aku
seperti anak kecil memang terutama dalam menyikapi kenangan, seperti katamu
bahwa “bukankah dewasa berarti siap melaskan dan merelakan” (dwitasari). Tetapi
jika aku ingin berterus terang pada diriku sendiri tidak ada manusia dewasa
sekalipun yang siap melepaskan. Mungkin dimulut mereka mengatakan siap tapi siapa
yang tau tentang kedalam rasa mereka tetang kesiapan itu. Kita semua tidak
pernah benar-benar dewasa, kita terus belajar menjadi dewasa sampai kata mati
yang universal itu menjadi kenyataan. Kita hanya anak kecil yang memegang
boneka kesayangan kita walaupun ketika Tuhan ingin mengambil boneka kecil itu
dan menggantinya dengan boneka besar kita tetap tak percaya dan terus ingin
menggenggam apa yang kita lihat dan miliki sekarang. Dan aku mengakui aku
memang anak kecil.
Mungkin
karena aku anak kecil maka aku selalu berharap kau selalu jujur dengan dirimu
sendiri. Katakanlah apa yang mampu kau katakan pada kenangan. Jika kau masih
bisa mengatakan kau mencintai kenangan maka katakanlah selagi kau bisa. Bahkan
ketika waktu begitu sempitnya memberimu ruang. Aku tahu bahwa waktu yang begitu
sempit akan menyakitimu, tetapi inilah kenyataan yang harus kau terima.
Pilihanmu cuma dua menjadi jinak atau memilih untuk melawan sambil menunggu
kematian akan jeratan kenangan. Akan ada masa ketika kau ingin mengatakan
kedalaman rasamu, waktu tak mengijinkan dan ruang telah berbalik arah dihadapan
yang lain. Kau harus tau bahwa waktu tetaplah pelari yang paling handal bagi
kenangan. Ia tak akan terulang meski kau meronta-ronta untuk mengejarnya. Namun
semuanya telah berlalu, lepas. Waktu telah melewati garis finish dan menuju garis finish
lainnya dan ruang telah berbalik arah di tempat yang lain.
Kenangan
dan akan menjadi Kenangan TITIK
bagus tulisannya, aku suka...terus menulis ya Siti...sapa tau bisa jd sebuah novel. kenangannya jgn langsung titik, masih ada koma, dan lainnya heee
BalasHapus